Sanitasi Berbasis Komunal
Urusan tinja bisa menjadi sangat kompleks. Bagi kebanyakan orang, tinja masih dianggap sebagai sisa/kotoran yang tidak berguna. Mengandung penyakit dan permasalahan besar lain. Namun tinja juga bisa berguna bagi manusia jika diolah dengan tepat.
Kebanyakan orang menganggap urusan pengelolahan tinja sudah beres ketika tiap rumah memiliki jamban yang terhubung dengan septic tank. Namun, permasalahan pengelolaan tinja tidak semudah itu dituntaskan oleh sistem septic tank individu macam ini. Kondisi permukiman padat penduduk di kota besar, seperti Surabaya dan Malang, membutuhkan solusi yang lebih dari sekadar septic tank di setiap rumah.
Model jamban tiap rumah pun beragam. Ada yang hanya menyerupai cubluk/plengsengan karena tinja dibuang langsung ke sungai/selokan. Ada yang tidak melakukan pengerasan pada dasar tangki, Ada yang dindingnya terbuat dari batu bata tanpa plesteran. Ada yang ukuran sangat kecil sehingga cepat penuh dan luber. Ada yang pipa resapannya tidak lagi berfungsi. Sedangkan pada masyarakat dengan penghasilan sangat rendah, pembuatanseptic tank bukanlah prioritas utama yang harus dilakukan.
Tingkat ekonomi setiap keluarga juga sedikit-banyak berpengaruh pada kualitas septic tank. Namun rupanya kondisi jamban yang tidak sesuai standar ini tidak hanya ditemui di permukiman kumuh, tapi juga di kawasan permukiman elite. Sehingga kondisi jamban lebih dipengaruhi oleh tingkat kesadaran seseorang tentang pentingnya sanitasi bagi keluarganya.
Data Bappenas (2006) menyebutkan, lebih dari 60% permukiman di perkotaan di Indonesia memiliki sumur danseptic tank yang jaraknya tidak lebih dari 10 meter. Padatnya permukiman membuat letak septic tank pada sebuah rumah ternyata berhimpitan dengan sumur rumah tetangganya. Kondisi seperti ini hanya semakin memperburuk kualitas air tanah yang dikonsumsi oleh manusia di sebuah wilayah akibat tercemar oleh tinja. Padahal beberapa penyakit menyebar melalui tinja. Antara lain: tifus, kolera, hepatitis A, polio dan diare.
Standar Nasional Indonesia (SNI) hanya menyebutkan tentang standar konstruksi septic tank. Belum ada regulasi yang membatasi jumlah septic tank per satuan luas kawasan. Karenanya, dengan adanya ketentuan tiap rumah wajib memiliki septic tank-nya sendiri, bisa dibayangkan berapa banyak jumlah septic tank di suatu permukiman padat penduduk. Tidak hanya banyak, tapi juga saling berdekatan satu-sama-lain.
Dari sini kita melihat ada permasalahan serius dari sistem pengelolaan tinja berbasis individual yang sudah kadung dikenal dan diterapkan masyarakat.
Hindarko (2003) menyebutkan bahwa sebenarnya ada dua macam sistem saluran pembuangan. Pertama, pengolahan secara individu di masing-masing rumah (on site). Sistem ini yang sekarang digunakan di kebanyakan permukiman di Indonesia. Yaitu dengan membuat septic tank yang difungsikan untuk mengolah limbah tinja dari WC. Contoh dari sistem ini sudah diungkap pada bagian awal tulisan ini.
Sistem yang lain adalah pengolahan limbah secara kolektif (off-site). Sistem ini belum banyak digunakan. Salah satu wujud sanitasi berbasis komunal adalah IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Di mana limbah cair dari rumah-rumah disalurkan menjadi satu di IPAL. Di Kota Malang, sudah ada tiga kelurahan yang menggunakan sistem ini, yaitu di Kelurahan Mergosono, Kelurahan Ciptomulyo dan Kelurahan Tlogomas.
Teknologi IPAL menggunakan pengelolaan secara hayati. Ada proses kimiawi, biologis dan fisik yang dialami limbah cair dari rumah-rumah ketika masuk IPAL. Pada akhir proses pengolahan, air yang keluar sudah memenuhi standar baku mutu untuk dikembalikan ke alam (tanah/sungai).
Teknologi pengelolaan tinja kian hari kian berkembang. Kini, sistem ini bukan hanya digunakan untuk mengolah air limbah agar tidak lagi mengancam air tanah, tapi juga digunakan untuk mengolah tinja dan urine menjadi sumber energi alternatif ramah lingkungan, yaitu biogas.
Pengadaan energi biogas dari limbah domestik ini sudah terbukti di beberapa daerah. Salah satunya adalah di sebuah peternakan sapi di Kota Batu. Komunitas peternak sapi mengolah kotoran sapi dan rumah tangganya dalam sanitasi komunal. Dari situ, dihasilkan energi biogas yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari warga. Dampaknya, mereka tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli minyak tanah ataupun mencari kayu bakar di hutan. Sistem sanitasi berbasis komunal ternyata menjadi sebuah solusi praktis bukan hanya pada kawasan permukiman padat penduduk.
IPAL KOMUNAL TA 2012 oleh Dinas Kebersihan Kota Malang Lokasi RT.004RW VI Kel Bandungrejosari Selesai Pengerajaan Desember 2012 |
Hanya saja, memang di daerah perkotaan sistem komunal yang mengarah pada pengadaan biogas masih jarang ditemukan. Permasalahan yang harus dihadapi adalah pada ketersediaan lahan di kawasan permukiman padat penduduk di perkotaan.
Permasalahan lahan demi sanitasi berbasis kolektif patut menjadi perhatian serius. Di kota besar, khususnya di permukiman padat penduduk tidak lagi dapat kita temui lahan yang cukup luas yang ‘rela’ digali dan dibangun suatu septic tank raksasa. Merelokasi rumah penduduk juga bukan sebuah solusi yang tepat.
Kondisi keterbatasan lahan ini ditambah dengan model perencanaan perkotaan di Indonesia yang masih acak-adut. Di pinggir-pinggir jalan yang ada di perkotaan terpendam berbagai macam jaringan infrastruktur, seperti telepon, air bersih, gas dan selokan air. Bisa dibayangkan ketika jaringan infrastruktur itu masih harus ditambah dengan pipa-pipa yang menghubungkan jamban di tiap-tiap rumah menuju ke IPAL.
Dari paparan singkat di atas terlihat bahwa sanitasi berbasis individu sudah tidak lagi efektif. Dan solusi yang tersisa adalah sanitasi berbasis komunal. Sistem ini merupakan solusi praktis bagi permasalahan pengelolaan tinja yang efektif. Namun permasalahan tidak serta-merta berakhir ketika berdiri sebuah sistem pengelolaan limbah kolektif di suatu lokasi. Kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup bersih dan sehat juga menjadi salah satu faktor yang tak kalah penting dibanding pembangunan infrastruktur sanitasi berbasis komunal.
Apakah ada jaminan perubahan perilaku masyarakat ketika infrastruktur itu sudah tersedia? Apakah mereka tidak lagi melakukan aktivitas MCK di sungai? Mengingat sungai adalah ruang publik tempat warga berkumpul dan bertukar informasi setiap hari.
Diambil dari artikel dengan judul sama By Nino di http://kerangalam.wordpress.com