Mari Berdaulat, Gunakan Rupiah Untuk Transaksi di NKRI
Pemerintah mendorong gerakan gunakan rupiah untuk transaksi di NKRI, harapannya mengurangi tekanan pada nilai tukar rupiah dan stabilitas ekonomi nasional.
Presiden Joko Widodo meminta pelaku usaha dan masyarakat meningkatkan penggunaan Rupiah saat bertransaksi di dalam negeri. Langkah ini bertujuan agar pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS tak terjadi berlarut-larut .
Mata uang Rupiah menjadi salah satu simbol kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), selain bendera dan lagu kebangsaan. Namun, kini masih banyak transaksi antar penduduk menggunakan mata uang asing di wilayah NKRI. Angkanya cukup mencengangkan hampir 7,2 miliar dollar AS per bulan atau setara dengan Rp93 triliun.
Kebijakan ini diatur dalam peraturan Bank Indonesia (BI) No.17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI. Peraturan ini turunan dari undang-undang tentang Bank Indonesia dan UU Mata uang. Tugas utama BI yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Mengacu UU mata uang, Rupiah selain sebagai simbol kedaulatan negara, juga alat pembayaran yang sah. Jadi hukumnya wajib digunakan dalam kegiatan perekonomian di wilayah NKRI. Harapannya mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pengecualian penggunaan rupiah bisa dilakukan untuk beberapa hal seperti transaksi tertentu dalam kerangka APBN, pemberian hibah dari atau ke luar negeri dan transaksi perdagangan internasional. Selain itu, simpanan di bank dalam valuta asing atau valas dan transaksi pembiayaan internasional.
Penggunaan mata uang Rupiah masih menghadapi beberapa kendala. Pertama, dolarisasi, banyak pihak memakai mata uang selain rupiah di wilayah NKRI. Misal, pencantuman harga barang atau jasa dan penyelesaian transaksi dengan valas.
Kedua, transaksi valas menunjukan trend meningkat, dimana korporasi dan nasabah melakukan pembelian barang domestik porsinya 52 persen tahun 2014. Sebelumnya, hanya 19 persen tahun 2007.
Ketiga, transaksi antar residen dengan valas, barang sebesar 73 persen dan jasa 13 persen. Mayoritas valas yang digunakan adalah dollar sebesar 96,4 persen. Keempat, korporasi dan individu domestik cenderung melakukan net beli, pembelian dipenuhi oleh supply valas non residen.
Ketidakseimbangan supply dan demand memberikan tekanan nilai tukar Rupiah. Depresiasi menggagu kestabilan makroekonomi, inflasi terus meningkat. Selain itu, depresiasi menimbulkan currency mismatch, adanya eksposur terhadap utang luar negeri valas.
Untuk itu, pemerintah mulai Juli tahun 2015 memberlakukan penggunaan rupiah secara non tunai di wilayah Indonesia. Penerapan efektivitas regulasi ini salah satunya pencantuman harga barang dan jasa atau kuotasi.
Pertimbanganya selain berdaulat atas mata uang, juga adanya kebingungan masyarakat dalam membedakan antara kuotasi dan pembayaran. Pencantuman kuotasi dengan valas, kurs yang digunakan cenderung menguntungkan salah satu pihak.
Setiap pihak dilarang menolak Rupiah kecuali atas keraguan akan keaslian dan pembayaran memang diperjanjikan secara tertulis dengan valuta asing. Ancaman hukuman pelanggaran transaksi tunai adalah pidana kurungan satu tahun atau denda sebanyak dua ratus juta rupiah.
Pada pelanggaran kewajiban kuotasi dalam Rupiah dan kewajiban penyampaian laporan dikenakan sanksi adminstratif berupa teguran tertulis. BI dapat merekomendasikan kepada otoritas berwenang untuk melakukan tindakan sesuai kewenangannya seperti pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan usaha. (Tim Komunikasi Publik / @bakohumas)